Senin, 30 April 2012

FAKTA SESUNGGGUHNYA TENTANG KIMIA



Oleh Rizka Husnu Maulana



Ketika ilmuwan muslim untuk pertama kalinya menterjemahkan buku-buku kimia dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, mereka menemukan bahwa pemikran kimia Yunani bercampur mistik dan khayalan, tak ada dasar eksperimen sedikit pun, tak ada dasar empiris sedikit pun. Pencarian “batu filosof” yang mampu mengubah logam dasar menjadi bentuk emas serta obat mujarab yang menjanjikan kesehatan dan awet muda adalah tujuan utama dari peneltian kimia yunani. Umat Islam, sesungguhnya, menjadi pihak pertama yang menguji teori-teori kimia melalui eksperimentasi. Mereka menemukan banyak produk baru, yang saat ini sejumlah nama bahasa Eropa terdengar sama dengan bahasa Arab asli seperti : kimia(al-khemia), alkohol(al-kuhul), alkaln(al-qalawi), arsenik (az-zirnich).
Barangkali kimiawan muslim terbesar adalah Jabir Ibn Hayyan (738-813) dari Kuffah, Irak. Dia melakukan eksperimen pada materi hewan, tumbuhan dan mineral alam, perancangan alat utnuk memotong, pengerasan dan proses kristalisasi. Dia menggambarkan dan menyempurakan proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, kalsinasi, pencampuran, pembesaran, oksidasi dan penjernihan. Ibnu Hayyan menyatakan bahwa air dapat dijernihkan melalui proses penyulingan, membedakan penyulingan langsung dengan penyulingan tidak langsung.
Banyak zat kimia baru ditemukan oleh kimiawan besar muslim, termasuk senyawa basa, asam, garam, cat dan minyak. Dia mencampur asam sulfat, soda pekat dan asam nitrohidroklorida (yang disebut terakhir merupakan dikenal dengan aqua regia dan merupakan larutan yang dignakan untuk melebur logam seperti platina dan emas). Dia juga memuat asam dari etanol (asam asetat yang disebut asam cuka), serta berbagai macam garam seperti sulfat, nirat, kalium dan natrum karbonat. Lebih praktisnya, dia menyediakan cat dengan warna yang berbeda untuk digunakan pada kain dan kilit hewan, juga tinta untuk cetakan yang mahal.
Ibnu Hayyan menulis lebih dari 500 risalah di bidang kimia, namun hanya sedikit yang sampai ke tangan kita. Satu contoh betapa besarnya intelektualitas kimia Ibnu Hayyan dapat dilihat dari sebuah naskah yang cerdas dari karyanya yang dikutip sebagai berikut :
“Air raksa dan belerang berpadu membentuk sebuah elemen tungal, tetapi tidaklah benar mengganggap elemen ini sebagai sesuatu yang benar-benar baru sehingga air raksa dan belerang berubah sepenuhnya. Yang benar adalah keduanya menjaga sifat alaminya dan semua yang terjadi merupakan bagian dari dua materi yang saling bereaksi dan bercampur, dalam sebuah cara yang memungkinkan kita dapat membedakan secara akurat. Apabila hendak memisahkan…bagian-bagian yang kecil dari dua kategori itu melalui sejumlah peralatan khusus, maka jelaslah bahwa masing-masing elemen bertahan pada sifat teoritisnya. Hasilnya adalah kombinasi kimiawi antar elemen dengan peralian permanen tanpa mengubah sifat-sifatnya.” 
Peralatan khusus yang dulu dipakai oleh Ibnu Hayyan sekarang banyak digunakan oleh laboratorium penelitan di seluruh dunia. Contohnya dalah spektometer massa, yang mengubah atom dan molekul menjadi ion dan mengidentifikasinya menurut bobot massa yang berbeda.
Kimiawan muslim dari Persia, ar-Razi (894-932), mengembangkan karya Ibnu Hayyan dan menyempurnakan proses eksperimentasi dengan menguraikan materi yang digunakan, sarana, metode dan kondisi eksperimen. Dia membuat asam sulfat dan asam lainnya seperti alkohol  melalui proses fermentasi. Dia juga mempelajari raksa dan persenyawaannya serta merancang dan menggunakan banyak peralatan laboratorium kimia. Ar-Razi adalah orang pertama yang membagi senyawa kimia ke dalam golongan mineral, tumbuhan, dan hewan. Dia juga menyatakan bahwa kinerja tubuh merupakan hasil dari reaksi-reaksi kimiawi.
Sekarang kita perhatikan sebuah kutipan dari salah satu karya al-Majriti, kimiawan Andalusia dari Majrit (sekarang Madrid) :
                “Saya membesihkan air aksa yang berkilau dan menaruhnya ke dalam sebuah perkakas gelas yang berbentuk oval dan saya memindahkannya ke perkakas lainnya yang serupa dengan sebuah perkakas dapur.  Saya memanaskannya diatas api kecil. Pemanasan dilakukan selama empat puluh hari, dan ketika saya membuknya (raksa itu beratnya kurang lebih seperempat pon), raksa itu telah berubah menjadi bubuk merah tanpa sedikitpun terjadi perubahan massa.”
Bubuk merah itu tentu saja adalah oksida raksa. Sekali pun al-Majriti menjadi orang pertama yang membuktikan hukum kekekalan massa, penghargaan atas karyanya ini baru diberikan 900 tahun kemudian justru kepada kimiawan Perancis, Lavoiser, untuk keberhasilannya mendemonstrasikan eksprimen yang sama. Dengan demikian, sebenarnya kimia muslim telah lebih maju berabad-abad dari kimia barat. Di abad 9, ketika dunia barat masih diselimuti kebodohan dan kepercayaan mistis yang tinggi, ilmuwan-ilmuwan muslim telah bekerja di laboratorium untuk melakukan penelitian dengan dilandasi teori-teori dan prosedur sains. Penelitian yang dilakukan para ilmuwan muslim pada abad itu, tidak hanya dilandasi oleh rasa keingintahuan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, tetapi juga dijiwai oleh semangat mencari ilmu dan jawaban atas fenomena-fenomena yang terjadi di alam, yang juga sering disebutkan dalam kitab suci al-Qur’an. Sehingga timbul suatu paradigma “wahyu memandu ilmu” yang memberikan nilai tambah yang tak terkira besarnya. Tak hanya nilai positif dari penemuan yang telah dicapai, tetapi suatu kesadaran tauhid yang berlandaskan sains, sehingga tauhid menghujam kuat sebagai dasar kehidupan ilmuwan muslim. 
190.  Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191.  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali-Imran)
Para sarjana muslim pada era gemilang peradaban islam menekankan bhwa motivasi di balik upaya pencarian ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu matematis adalah untuk mengetahui ayat-ayat Tuhan di alam semesta, yang lazim disebut ayat Qauniyah. Dalam pandangan mereka, tiap-tiap bidang ilmu menunjukkan satu dimensi ciptaan Tuhan, dan ilmu-ilmu tersebut memiliki kesatuan oganis. Jadi, para sarjana muslim ini tidak memisahkan kajian tentang alam dari pandangan dunia mereka yang religius dan mereka mencari kerangka kerja inklusif yang memungkikan mereka menjelaskan keseluruhan alam semesta. Gagasan ketunggalan pencipta dan keserasian penciptaan merupakan prinsip dasar yang mengatur semua ranah ilmu pengetahuan. Sains islam memperlihatkan kembali ketunggalan (unicity) rancangan di alam semesta. Wallahu'alam...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar