Oleh Rizka Husnu Maulana
Ketika
ilmuwan muslim untuk pertama kalinya menterjemahkan buku-buku kimia
dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, mereka menemukan bahwa pemikran
kimia Yunani bercampur mistik dan khayalan, tak ada dasar eksperimen
sedikit pun, tak ada dasar empiris sedikit pun. Pencarian “batu filosof”
yang mampu mengubah logam dasar menjadi bentuk emas serta obat mujarab
yang menjanjikan kesehatan dan awet muda adalah tujuan utama dari
peneltian kimia yunani. Umat Islam, sesungguhnya, menjadi pihak pertama
yang menguji teori-teori kimia melalui eksperimentasi. Mereka menemukan
banyak produk baru, yang saat ini sejumlah nama bahasa Eropa terdengar
sama dengan bahasa Arab asli seperti : kimia(al-khemia), alkohol(al-kuhul), alkaln(al-qalawi), arsenik (az-zirnich).
Barangkali kimiawan muslim terbesar adalah Jabir Ibn Hayyan
(738-813) dari Kuffah, Irak. Dia melakukan eksperimen pada materi
hewan, tumbuhan dan mineral alam, perancangan alat utnuk memotong,
pengerasan dan proses kristalisasi. Dia menggambarkan dan menyempurakan
proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, kalsinasi,
pencampuran, pembesaran, oksidasi dan penjernihan. Ibnu Hayyan
menyatakan bahwa air dapat dijernihkan melalui proses penyulingan,
membedakan penyulingan langsung dengan penyulingan tidak langsung.
Banyak
zat kimia baru ditemukan oleh kimiawan besar muslim, termasuk senyawa
basa, asam, garam, cat dan minyak. Dia mencampur asam sulfat, soda pekat
dan asam nitrohidroklorida (yang disebut terakhir merupakan dikenal
dengan aqua regia dan merupakan larutan yang dignakan untuk
melebur logam seperti platina dan emas). Dia juga memuat asam dari
etanol (asam asetat yang disebut asam cuka), serta berbagai macam garam
seperti sulfat, nirat, kalium dan natrum karbonat. Lebih praktisnya, dia
menyediakan cat dengan warna yang berbeda untuk digunakan pada kain dan
kilit hewan, juga tinta untuk cetakan yang mahal.
Ibnu
Hayyan menulis lebih dari 500 risalah di bidang kimia, namun hanya
sedikit yang sampai ke tangan kita. Satu contoh betapa besarnya
intelektualitas kimia Ibnu Hayyan dapat dilihat dari sebuah naskah yang
cerdas dari karyanya yang dikutip sebagai berikut :
“Air
raksa dan belerang berpadu membentuk sebuah elemen tungal, tetapi
tidaklah benar mengganggap elemen ini sebagai sesuatu yang benar-benar
baru sehingga air raksa dan belerang berubah sepenuhnya. Yang benar
adalah keduanya menjaga sifat alaminya dan semua yang terjadi merupakan
bagian dari dua materi yang saling bereaksi dan bercampur, dalam sebuah
cara yang memungkinkan kita dapat membedakan secara akurat. Apabila
hendak memisahkan…bagian-bagian yang kecil dari dua kategori itu melalui
sejumlah peralatan khusus, maka jelaslah bahwa masing-masing elemen
bertahan pada sifat teoritisnya. Hasilnya adalah kombinasi kimiawi antar
elemen dengan peralian permanen tanpa mengubah sifat-sifatnya.”
Peralatan
khusus yang dulu dipakai oleh Ibnu Hayyan sekarang banyak digunakan
oleh laboratorium penelitan di seluruh dunia. Contohnya dalah
spektometer massa, yang mengubah atom dan molekul menjadi ion dan
mengidentifikasinya menurut bobot massa yang berbeda.
Kimiawan muslim dari Persia, ar-Razi
(894-932), mengembangkan karya Ibnu Hayyan dan menyempurnakan proses
eksperimentasi dengan menguraikan materi yang digunakan, sarana, metode
dan kondisi eksperimen. Dia membuat asam sulfat dan asam lainnya seperti
alkohol melalui proses fermentasi. Dia juga mempelajari raksa dan
persenyawaannya serta merancang dan menggunakan banyak peralatan
laboratorium kimia. Ar-Razi adalah orang pertama yang membagi senyawa
kimia ke dalam golongan mineral, tumbuhan, dan hewan. Dia juga
menyatakan bahwa kinerja tubuh merupakan hasil dari reaksi-reaksi
kimiawi.
Sekarang kita perhatikan sebuah kutipan dari salah satu karya al-Majriti, kimiawan Andalusia dari Majrit (sekarang Madrid) :
“Saya membesihkan air aksa yang berkilau dan menaruhnya ke dalam sebuah
perkakas gelas yang berbentuk oval dan saya memindahkannya ke perkakas
lainnya yang serupa dengan sebuah perkakas dapur. Saya memanaskannya
diatas api kecil. Pemanasan dilakukan selama empat puluh hari, dan
ketika saya membuknya (raksa itu beratnya kurang lebih seperempat pon),
raksa itu telah berubah menjadi bubuk merah tanpa sedikitpun terjadi
perubahan massa.”
Bubuk
merah itu tentu saja adalah oksida raksa. Sekali pun al-Majriti menjadi
orang pertama yang membuktikan hukum kekekalan massa, penghargaan atas
karyanya ini baru diberikan 900 tahun kemudian justru kepada kimiawan
Perancis, Lavoiser, untuk keberhasilannya mendemonstrasikan eksprimen
yang sama. Dengan demikian, sebenarnya kimia muslim telah lebih maju
berabad-abad dari kimia barat. Di abad 9, ketika dunia barat masih
diselimuti kebodohan dan kepercayaan mistis yang tinggi, ilmuwan-ilmuwan
muslim telah bekerja di laboratorium untuk melakukan penelitian dengan
dilandasi teori-teori dan prosedur sains. Penelitian yang dilakukan para
ilmuwan muslim pada abad itu, tidak hanya dilandasi oleh rasa
keingintahuan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, tetapi juga dijiwai
oleh semangat mencari ilmu dan jawaban atas fenomena-fenomena yang
terjadi di alam, yang juga sering disebutkan dalam kitab suci al-Qur’an.
Sehingga timbul suatu paradigma “wahyu memandu ilmu” yang memberikan
nilai tambah yang tak terkira besarnya. Tak hanya nilai positif dari
penemuan yang telah dicapai, tetapi suatu kesadaran tauhid yang
berlandaskan sains, sehingga tauhid menghujam kuat sebagai dasar
kehidupan ilmuwan muslim.
190.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa
neraka. (QS. Ali-Imran)
Para
sarjana muslim pada era gemilang peradaban islam menekankan bhwa
motivasi di balik upaya pencarian ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu
matematis adalah untuk mengetahui ayat-ayat Tuhan di alam semesta, yang
lazim disebut ayat Qauniyah. Dalam pandangan mereka, tiap-tiap
bidang ilmu menunjukkan satu dimensi ciptaan Tuhan, dan ilmu-ilmu
tersebut memiliki kesatuan oganis. Jadi, para sarjana muslim ini tidak
memisahkan kajian tentang alam dari pandangan dunia mereka yang religius
dan mereka mencari kerangka kerja inklusif yang memungkikan mereka
menjelaskan keseluruhan alam semesta. Gagasan ketunggalan pencipta dan
keserasian penciptaan merupakan prinsip dasar yang mengatur semua ranah
ilmu pengetahuan. Sains islam memperlihatkan kembali ketunggalan
(unicity) rancangan di alam semesta. Wallahu'alam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar